Dalam rangka membangkitkan spirit nasionalisme di kalangan generasi muda, Pusat Studi Kebangsaan Indonesia (PSKI) Universitas Prasetiya Mulya menggelar bincang-bincang kebangsaan dengan para siswa dari sejumlah SMA di Jakarta. Acara bertajuk “Membangun Persatuan Indonesia” ini berlangsung di SMA Negeri 2 Jakarta pada Selasa (17/6/2025). Para siswa yang berjumlah lebih dari seratus orang tersebut merupakan gabungan dari beberapa SMA, antara lain SMA Negeri 2 Jakarta, SMA Negeri 95 Jakarta, SMA Negeri 96 Jakarta, SMA Negeri 17 Jakarta, dan SMAS Islam Terpadu Almaka Jakarta. Hadir juga sejumlah guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dari masing-masing sekolah.
Rektor Universitas Prasetiya Mulya Dr. Hassan Wirajuda yang membuka acara ini secara resmi menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada para kepala sekolah, guru, dan para siswa yang bersedia menghadiri perhelatan rutin tahunan PSKI tersebut. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia periode 2001-2009 ini dalam sambutannya juga berharap agar rasa cinta terhadap bangsa dan negara tidak boleh luntur oleh tantangan-tantangan masa kini yang semakin kompleks.
Acara yang dimoderatori oleh Agus Sriyono sebagai perwakilan PSKI ini, menghadirkan empat dosen Universitas Prasetiya Mulya sebagai pembicara, yakni Antonius Puspo Kuntjoro, Ridha Aditya Nugraha, Yerry Wirawan, dan Heribertus Jani. Puspo Kuntjoro membingkai presentasinya dengan pertanyaan besar: Apakah Pancasila masih relevan? Dengan argumentasi historis dan filosofis yang komprehensif, Dosen Etika Univesitas Prasetiya Mulya ini menegaskan bahwa Pancasila masih sangat relevan untuk konteks bangsa dan negara Indonesia yang sangat plural.
Adapun Ridha Aditya Nugraha lebih menyoroti kebhinekaan Indonesia dalam hubungan dengan hukum negara. Sebagai pengajar hukum, Ridha memaparkan secara sederhana ihwal apa itu hukum, apa saja hak warga negara, dan bagaimana fungsi hukum dalam negara yang plural seperti Indonesia. Penjabat Dekan Sekolah Hukum dan Studi Internasional Prasetiya Mulya ini lebih jauh menekankan perlunya kesadaran bahwa keberagaman dalam hal suku, agama, budaya, ataupun ras memiliki konsekuensi hukum yang wajib diketahui oleh setiap warga negara.
Sementara itu, Yerry Wirawan berbicara sesuai kapasitasnya sebagai sejarawan. Secara kontekstual, dosen dan staf peneliti PSKI ini mengangkat contoh yang sangat dekat dengan para siswa yakni cikal-bakal terbentuknya Jakarta sebagai kota yang sangat plural. Dibantu tayangan visual bukti-bukti historis mengenai Kota Batavia di masa lalu, pengajar mata kuliah Civilization of Pluralism ini menjelaskan bagaimana Batavia menjadi titik pertemuan manusia dari berbagai latar belakang etnis dan budaya lalu bermetamorfosis menjadi Kota Jakarta hari ini.
Keseluruhan pemaparan para pembicara ditutup dengan diskusi mengenai implementasi dari nilai-nilai persatuan Indonesia dalam kehidupan konkret sehari-hari. Heribertus Jani berperan sebagai pemantik diskusi memulai dengan menggali bagaimana pandangan para siswa mengenai keberagaman dan tantangan apa yang mengancam persatuan dalam keberagaman untuk konteks sekarang ini. Tiga tantangan masa kini yang paling banyak diangkat para siswa yang berpotensi menggerus persatuan bangsa adalah rasisme, bullying atau perundungan, dan masuknya budaya asing.