Lynn White, seorang penduduk Long Beach, California, berhasil memenangkan banding atas kasus penggusuran rumah yang dihadapinya berkat bantuan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligent (AI). Pada awalnya, Lynn yang didampingi oleh seorang pengacara, dihukum untuk membayar utang uang sewa senilai lebih dari $70.000 pada pengadilan tingkat pertama.
Ia kemudian memutuskan untuk menghadapi kasusnya sendiri di pengadilan tingkat banding, dengan memanfaatkan AI untuk membantunya karena tidak memiliki uang, baik untuk membayar denda atau untuk kembali mempekerjakan seorang pengacara. Tak dinyana, berkat bantuan teknologi tersebut, Lynn justru berhasil memenangkan kasus. Penggusuran atas dirinya berhasil dibatalkan dan ia pun berhasil menghindari kewajiban denda.
Kasus Lynn di atas menunjukkan potensi penggunaan AI yang besar di dalam dunia hukum dan peradilan di masa yang akan datang. Sebuah studi yang diadakan oleh peneliti dari Princeton University, University of Pennsylvania, dan New York University pada tahun 2023 menemukan bahwa penyedia “legal services” akan menjadi industri yang paling terekspos oleh keberadaan AI Language Modeler. Language Modeler adalah sebuah cabang dari penggunaan AI yang berfokus untuk memaksimalkan penggunaan komputer agar dapat memahami dan menghasilkan bahasa manusia. Saat ini, salah satu bentuk AI Language Modeler yang paling dikenal dan sering digunakan oleh khalayak luas adalah ChatGPT Model dari OpenAI yang sudah digunakan lebih dari 200 juta orang di tahun 2024.
Penelitian yang dilakukan oleh dua economist Goldman Sachs juga memprediksikan hal serupa, bahwa 44% dari keseluruhan pekerjaan hukum pada dasarnya dapat diotomasi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh hasil survei yang dilakukan oleh LexisNexis kepada 7,950 praktisi hukum, mahasiswa hukum, dan konsumen di Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada, dan Prancis yang menemukan bahwa 60% responden setuju bahwa firma hukum saat ini diharapkan dapat menggunakan teknologi seperti generative AI dalam menjalankan jasanya.
Mau tidak mau, suka atau tidak suka, teknologi sudah “memaksa” praktisi hukum untuk berubah dalam mempraktikkan hukum, baik dari cara menulis, berargumentasi, melakukan riset, menyusun rancangan dokumen hukum, analisa dokumen, dan tentu saja how to lawyer. Bahkan, beberapa firma hukum ternama dunia seperti DLA Piper sudah mengadopsi beberapa software yang dapat bekerja untuk membantu Generative AI dalam mengolah dan merangkum dokumen-dokumen hukum.
Manfaat dan Tantangan AI di Dunia Hukum
AI terbukti mampu meringankan dan mempercepat pekerjaan manusia di bidang hukum. Teknologi ini berhasil menguraikan kompleksitas sistem dan pengaturan hukum, sehingga lebih dapat dipahami oleh masyarakat awam. Pasal-pasal, aturan hukum, pandangan para hakim dalam berbagai putusan, semua dapat dengan tepat dan mudah ditemukan dalam hitungan detik. Rancangan kontrak, rancangan surat keputusan, atau dokumen-dokumen hukum lainnya juga dapat dengan mudah dihasilkan tanpa perlu bersusah-susah menyesuaikan template.
AI terbukti mampu mengurangi waktu yang dihabiskan oleh seorang pengacara dalam mereview sebuah kontrak hingga 60%. Selain itu, AI juga dapat memberikan analisa prediksi terhadap data kasus yang diberikan berdasarkan putusan-putusan terdahulu. Hal ini mempermudah pekerjaan praktisi hukum yang akan membutuhkan pertimbangan mengenai cost-benefit dari kasus litigasi yang dihadapinya.
Salah satu hal yang kemudian menjadi tantangan dalam penggunaan AI di dunia hukum adalah terkait kemungkinan terjadinya fenomena yang disebut sebagai “AI Hallucinations” yang kemudian dapat berujung pada pelanggaran etika. AI Hallucinations atau halusinasi kecerdasan buatan adalah sebuah situasi dimana Generative AI menghasilkan sebuah informasi yang seolah-olah bersifat asli atau faktual, namun nyatanya palsu atau hanya karangan semata.
Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Generative AI pada dasarnya dirancang untuk memprediksikan suatu hal yang mungkin terjadi di masa yang akan datang berdasarkan data statistik, namun ia tidak ditujukan untuk memverifikasi kebenaran dari hal tersebut. Fenomena AI Hallucinations ini pernah terjadi di Australia, di mana seorang pengacara dicopot dari sertifikasinya sebagai principal lawyer karena bersalah memberikan sitasi yurisprudensi di pengadilan berdasarkan hasil Generative AI tanpa mengecek kebenarannya.
Selain itu, analisa AI yang mengandalkan algoritma dari penggunanya, membuat data yang dihasilkan cenderung bersifat bias dan tidak tepat. Padahal, penting bagi seorang penegak hukum dan sistem peradilan untuk menjunjung keadilan yang bebas dari prasangka dan diskriminasi informasi. Di Indonesia sendiri, meskipun belum terdapat kasus hukum yang terbukti melakukan pelanggaran penggunaan AI, bukan berarti tidak terdapat potensi bahwa hal tersebut dapat terjadi di masa yang akan datang.
Kurikulum Hukum yang Menghasilan Profil Lulusan dengan Pemahaman AI
Berada di tengah era digital, profil lulusan dari sebuah fakultas hukum diharapkan memiliki kemampuan yang memadai untuk dapat menjawab tantangan penggunaan teknologi ini di dunia kerja. Daripada menganggap AI sebagai sebuah ancaman yang dapat menggantikan pekerjaan di masa depan, mahasiswa hukum harus diajarkan bagaimana cara mengelola teknologi agar mereka bisa meningkatkan nilai jual sebagai seorang sarjana hukum dengan tetap menjunjung etika integritas akademik yang transparan dan berimbang.
Untuk membantu menyokong hal tersebut, fakultas-fakultas hukum di Indonesia dapat menyiapkan kurikulum pendidikan hukum yang mengintegrasikan AI ke dalam sistem pembelajaran, antara lain sebagai berikut:
- Integrasi AI ke Mata Kuliah Hukum
Saat ini berbagai sekolah hukum di berbagai belahan dunia mulai membuat mata kuliah yang secara khusus membahas mengenai AI, seperti AI dan Teknologi, AI dan Hak Kekayan Intelektual, AI Law and Policy, serta masih banyak lainnya. Meskipun ini merupakan praktik baik, penting juga untuk mengkaji bagaimana AI dapat mempengaruhi disiplin-disiplin ilmu hukum yang sudah ada.
Misalnya, bagaimana peran AI dapat membawa dampak terhadap hukum tata negara, seperti bagaimana konstitusi dapat menjamin hak warga negara terkait penggunaan AI, ataupun terhadap hukum perdata – misalnya terkait diskusi keabsahan smart contract yang dibuat oleh AI. Diskusi seperti ini diperlukan sebagai upaya penyesuaian alih teknologi dengan tetap mempertahankan kemampuan untuk berpikir kritis dan menyusun konstruksi hukum yang baik.
- Integrasi AI sebagai Alat Pembelajaran dan Penelitian
Fakultas dan sekolah hukum dapat memanfaatkan AI sebagai alat pembelajaran dan melakukan penelitian. Misalnya, dengan melakukan simulasi dan uji coba virtual penggunaan AI di dunia praktik hukum di dalam ruang kelas, menggunakan AI untuk memproses data penelitian, atau memanfaatkan sebagai asisten hukum. Dengan demikian, mahasiswa akan memiliki kemampuan mengenai cara kerja dan mengoperasikan AI, serta mengintegrasikannya ke dalam aktivitas pekerjaan di bidang hukum.
- Menanamkan Etika Penggunaan AI
Saat ini, Generative AI sudah sangat masif digunakan oleh mahasiswa dalam mendukung kegiatan perkuliahan mereka, mulai dari membuat presentasi, memberikan ide akademis, hingga membantu penerjemahan dan penulisan. Sebagai batasan penggunaan, penting pula bagi fakultas dan sekolah hukum Indonesia untuk tetap memberikan panduan etika mengenai penggunaan AI di ruang-ruang akademik yang dapat memicu diskusi kritis mahasiswa, misalnya terkait penggunaan data pribadi, bias algoritmik, hingga pertanggungjawaban penggunaan AI. Hal ini dimaksudkan agar sarjana-sarjana hukum Indonesia di masa yang akan datang tetap dapat bekerja dengan kreatif dan efisien tanpa melupakan etika dan empati.
Mengutip yang disampaikan oleh Jensen Huang, CEO dan Co-Founder NVIDIA, perusahaan teknologi raksasa pemasok chip komputer AI dalam sebuah konferensi bulan Mei 2025 yang lalu: seseorang tidak akan kehilangan pekerjaan karena digantikan oleh AI, namun seseorang akan digantikan oleh orang yang mampu menggunakan AI. Di masa yang akan datang, kompetisi yang sesungguhnya bukan terjadi antara teknologi dengan manusia, melainkan tentang bagaimana manusia bisa memanfaatkan AI untuk bekerja lebih cepat, efisien dan berkualitas.
Di tengah dunia yang tidak lagi bisa dilepaskan dari penggunaan kecerdasan buatan ini, sekolah dan fakultas hukum Indonesia harus dapat mengambil peranan aktif untuk mempersiapkan lulusannya menghadapi tantangan ini. Persiapan ini tidak hanya dilakukan dengan memberikan hard skills berkaitan dengan pengoperasian AI dan pengintegrasiannya ke dalam pekerjaan di bidang hukum, namun juga harus diimbangi dengan kemampuan berpikir kritis dan juga penggunaan yang bertanggungjawab. Karena sejatinya, masa depan sistem hukum Indonesia terletak pada keahlian para lulusan hukum dalam memanfaatkan teknologi untuk mencapai keadilan berbasis kemanusiaan.
Source: https://www.liputan6.com/opini/read/6193717/artificial-intelligence-dalam-kurikulum-pendidikan-hukum-indonesia?page=4#google_vignette