Literasi Energi sebagai Fondasi Pendidikan
Aspek penting lain dalam proyek ini adalah penguatan literasi energi yang dipimpin oleh Adinda Ihsani Putri selaku ahli energi terbarukan. Menurutnya, banyak program lingkungan di sekolah tidak berkelanjutan karena minimnya pemahaman mendasar.
“Anak-anak tidak hanya perlu tahu cara mematikan lampu, tetapi juga memahami dampaknya—angka emisi CO2, serta bagaimana perubahan kecil dapat memberi dampak besar,” ujarnya.
Pendekatan ini diwujudkan melalui pelatihan guru, modul pembelajaran yang terintegrasi dengan data energi sekolah, pemanfaatan data real-time dalam Proyek Kurikulum Merdeka, serta kampanye sederhana yang melibatkan orang tua. Hasilnya bukan hanya perubahan perilaku, tetapi juga pembentukan pola pikir baru tentang energi.
IoT dan Robotics: Membuat Energi Terasa Nyata
Teknologi yang digunakan dalam proyek ini dirancang agar mudah dipelajari dan dioperasikan oleh warga sekolah. Tim yang dipimpin Rokhmat Febrianto selaku ahli IoT dan Robotics, mengembangkan sistem berbasis ESP32 dan PZEM-004T untuk mengukur tegangan, daya, dan konsumsi energi secara real time.
Sensor dipasang di beberapa titik sekolah dan mengirimkan data langsung ke server. Data ini kemudian divisualisasikan dalam bentuk grafik yang mudah dipahami. “Perubahan perilaku paling efektif terjadi ketika orang melihat data secara langsung. Siswa bisa melihat sendiri: saat AC menyala, grafik naik; saat lampu dimatikan, grafik turun. Mereka belajar dari kenyataan, bukan teori,” jelas Rokhmat.
Bagi siswa SMP, grafik energi ini berubah menjadi eksperimen langsung yang membuat topik energi terasa menarik dan relevan.
Sekolah sebagai Living Lab
Integrasi sistem dan pengelolaan data menjadi peran Stanley Aloysius Makalew yang memastikan data tersaji secara aman, akurat, dan mudah diakses. Website yang dikembangkan tidak hanya menampilkan dashboard energi, tetapi juga menyediakan akses bagi guru, dan siswa, mendukung modul pembelajaran, serta berfungsi sebagai alat evaluasi manajemen sekolah.
Sistem ini dirancang modular agar dapat dikembangkan ke depan, termasuk untuk pemantauan air, suhu, dan kualitas udara.“Kami tidak sekadar membangun website, tetapi menciptakan alat refleksi kolektif bagiseluruh warga sekolah,” ujar Stanley.
Pembelajaran Berbasis Proyek dan Dampak Nyata
Salah satu kekuatan utama inisiatif ini adalah integrasinya dengan Project-Based Learning (PjBL) dalam Kurikulum Merdeka. Guru dan siswa mengembangkan proyek berbasis analisis data energi sekolah, mengidentifikasi titik boros, melakukan eksperimen penghematan, hingga menyusun kampanye berbasis bukti.
Menuju Generasi yang Lebih Peka Energi
Dengan melibatkan sekitar 400 siswa dan 50 pendidik, TUGLO kini bergerak menuju target sebagai sekolah rendah karbon. Sistem pemantauan energi ini dimanfaatkan sebagai bahan rapat manajemen, alat belajar siswa, media komunikasi orang tua, serta bagian dari pelaporan keberlanjutan sekolah. Lebih dari sekadar proyek teknologi, kolaborasi ini menunjukkan bahwa desain ketika dipadukan dengan teknologi dan pendidikan dapat menjadi alat perubahan sosial
Kolaborasi Universitas Prasetiya Mulya dan TUGLO membuktikan bahwa desain tidak lagi semata tentang produk, melainkan tentang masa depan. Dari visualisasi data hingga literasi energi, dari IoT hingga pembelajaran berbasis proyek, seluruh pendekatan ini menyatu untuk membentuk perilaku dan menciptakan dampak nyata. Dari sebuah sekolah di Depok, perubahan itu sedang dimulai satu grafik energi, satu kebiasaan baru, dan satu ide desain pada satu waktu.
Sumber: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/6243060/kolaborasi-universitas-prasetiya-mulya-tuglo-dorong-sekolah-rendah-karbon-berbasis-desain-dan-iot