Lebih lanjut, Prof. Usep menunjukkan berbagai contoh praktis penggunaan AI untuk kegiatan akademik, mulai dari menyusun research roadmap, mengembangkan kerangka teori, hingga membuat desain poster atau infografis riset. Beliau juga menyinggung peran AI dalam membantu peneliti menemukan ide-ide baru dan menyusun peta riset personal. Di sisi lain, Prof. Usep Suhud mengingatkan kendala yang masih dihadapi oleh banyak peneliti di Indonesia, seperti keterbatasan dana publikasi (article processing charge) dan tantangan administratif dalam pengabdian masyarakat (PkM). “AI bisa membantu efisiensi waktu dan produktivitas, tapi dukungan institusi tetap krusial,” tambahnya.
Sesi berikutnya diisi oleh Prof. Alhadi Bustamam, Ph.D. dari Universitas Indonesia, yang membagikan perjalanan risetnya di bidang computational health research melalui presentasi berjudul “Research Journeys from Data to AI in Reshaping Computational Health Research.” Beliau menjelaskan bahwa di Universitas Indonesia telah berkembang program magister dan doktor bidang Data Science serta Artificial Intelligence, dengan berbagai riset kolaboratif bersama fakultas kedokteran, farmasi, dan industri. Salah satu penelitian yang dikembangkan adalah pendeteksian penyakit melalui citra retina mata, serta identifikasi penyakit tanaman menggunakan data visual daun.
Dalam paparannya, Prof. Alhadi memperkenalkan konsep Healthcare 5.0 dan Society 5.0 sebagai arah baru riset yang berpusat pada manusia. Ia mencontohkan berbagai penerapan AI di bidang farmasi, kesehatan, asuransi, dan kecantikan yang dimulai dari perancangan obat (drug discovery) hingga AI skin analyzer untuk rekomendasi perawatan kulit. “AI bukan hanya ChatGPT. Di dalamnya ada machine learning, deep learning, CNN, dan RNN yang bisa dilatih hingga berperan seperti dokter spesialis,” ujarnya.
Beliau juga membagikan pengalamannya dalam penggunaan AI untuk mendeteksi penyakit, baik secara klinis maupun personal, termasuk saat ia sendiri menjalani pengobatan berbasis rekomendasi AI. Selain itu, Prof. Alhadi menyoroti pentingnya kolaborasi antara universitas, industri, dan lembaga pemerintah untuk memperkuat infrastruktur riset AI di Indonesia. “Di UI, ChatGPT kami perlakukan seperti kalkulator layaknya alat bantu yang harus diterima dan dikelola secara etis,” jelasnya. Namun, ia juga mengingatkan risiko kebocoran data lokal dan perlunya regulasi yang kuat untuk menjaga keamanan informasi.
Pada sesi diskusi dan tanya jawab, peserta menyoroti bagaimana AI dapat digunakan tanpa mengurangi kualitas riset dan orisinalitas akademik. Menanggapi hal tersebut, Prof. Usep menekankan perlunya keseimbangan antara ruang digital dan interaksi manusia. “Kita harus tetap figital, sebutan yang menggabungkan kata fisik dan digital. Jangan sampai kehilangan sentuhan humanis dalam proses riset,” ungkapnya. Diskusi kemudian berlanjut dengan pembahasan seputar pentingnya literasi prompt yang baik, kolaborasi antardisiplin, serta kesadaran etis dalam menggunakan teknologi AI.
Melalui Research Talk kali ini, DRPPM Universitas Prasetiya Mulya menegaskan perannya sebagai ruang diskusi akademik yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. Forum ini tidak hanya memperluas wawasan sivitas akademika terhadap AI dan data sains, tetapi juga memperkuat komitmen universitas dalam mendorong riset yang kolaboratif, relevan, dan berorientasi pada dampak bagi masyarakat.