Benarkah Mantan Founder Startup Tak Laku di Bursa Kerja?

Universitas Prasetiya Mulya > Uncategorized @id > Benarkah Mantan Founder Startup Tak Laku di Bursa Kerja?

D

alam tiga bulan terakhir, industri teknologi global terguncang hebat akibat perlambatan ekonomi. Hal ini terjadi akibat adanya krisis pasokan pangan dan energi yang menyebabkan kenaikan tingkat inflasi tinggi di berbagai negara. Tingginya tingkat inflasi itu, oleh berbagai bank sentral direspons dengan cara menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan ini berujung pada pengetatan aliran modal di berbagai sektor industri, tak terkecuali industri digital.

Aliran modal yang dalam lima tahun terakhir deras mengalir ke sektor teknologi digital pun mulai seret. Investor dan para pemodal ventura menahan pendanaan dan mengalihkan investasinya ke sektor-sektor lain yang dianggap lebih potensial dan menguntungkan di masa resesi. Tak mengherankan jika sepanjang 2022 ini, di seluruh dunia terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada karyawan sektor teknologi.

Berbagai dinamika ini memunculkan sejumlah concern terkait kondisi terkini bursa kerja pasca-gelombang pemecatan karyawan startup. Bagaimana peluang para eks-startup untuk kembali mendapatkan pekerjaan? Perhatian besar juga muncul terkait nasib para founder startup yang perusahaannya terpaksa tutup karena kekurangan pendanaan atau faktor lain.

Sebuah riset yang digelar Yale University, Amerika Serikat, menunjukan kondisi anomali. Riset bertajuk “Are Former Startup Founders Less Hireable?” yang baru saja dirilis itu melaporkan, para mantan pendiri usaha rintisan di sektor teknologi 43% lebih kecil berpeluang mendapat panggilan kedua (setelah menjalani wawancara kerja) saat melamar pekerjaan, jika dibandingkan dengan pelamar kerja yang bukan berlatar belakang pendiri startup.

Survey yang melibatkan 2.400 responden itu juga menyebutkan, para mantan pendiri startup yang usahanya sukses rupanya punya peluang lebih kecil 33 persen untuk diundang wawancara kerja. Hal ini memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dengan kecenderungan sebagian besar perusahaan yang ingin mempekerjakan karyawan berjiwa wirausaha dan inovatif. Karena, menurut survey itu, ketika dihadapkan dengan kandidat pekerja yang memiliki dua hal tersebut, yang lazimnya dimiliki para pendiri startup, ternyata perusahaan lebih berpeluang memilih kandidat yang bukan berlatar belakang pendiri startup.

Meski hasil survey ini lebih menggambarkan kondisi dunia kerja di Amerika Serikat, namun pengamat kewirausahaan sosial dan  Direktur Kemahasiswaan, Karakter, dan Alumni, Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Rudy Handoko, berpendapat situasi serupa berpeluang terjadi di Indonesia. “Bukan hal aneh seorang founder startup masuk ke bursa kerja setelah bisnisnya gagal, atau pertumbuhan bisnisnya lambat.”

Problemnya, kata Rudy, ada semacam stigma pada para founder startup, atau mereka yang pernah berstatus sebagai chief executive officer, chief financial officer, chief marketing officer pada sebuah perusahaan startup punya karakter arogan, merasa serba tahu, dan stigma negatif lainnya. “Padahal perekrut membutuhkan karyawan yang humble, open minded, dan terbuka untuk belajar hal baru.”

Peran Dunia Pendidikan dalam Pembentukan Karakter

Dengan berbagai pandangan itu, bagaimana kemudian solusi untuk mebangun karakter calon wirausahawan yang kuat, namun juga tetap adaptif dengan dunia kerja? Menurut Rudy Handoko, hal itu, salah satunya, ditentukan oleh proses yang mereka lalui saat menempuh pendidikan, terutama di tingkat kampus.

“Dunia pendidikan dapat menciptakan karakter pebisnis yang kuat. Di kampus, misalnya, kami menekankan proses dalam membentuk pebisnis atau professional sukses. Tidak ada yang instan karena semua hasil butuh ketekunan,” ujar Rudy.

Ia mencontohkan bagaimana para mahasiswa di kampus bisnis terbaik di Indonesia,  Universitas Prasetiya Mulya, sejak semester awal telah mendapatkan eksposur terhadap berbagai macam kompetisi, tekanan yang melatih kesabaran dan konsistensi dalam mencapai tujuan. Mereka bertukar peran dalam kelompok, sekali waktu menjadi ketua, sekali waktu menjadi anggota. “Anggota kelompok sengaja ditukar secara rutin, agar sesama mereka bisa bekerja sama dengan baik, meski mereka memiliki latar belakang berbeda.”

Banyaknya kompetisi yang mereka ikuti pun melatih karakter mereka sebagai sosok yang terbiasa menang maupun kalah, dan tak mudah menyerah meski harus merangkak lagi dari bawah. “Hal semacam ini penting untuk pembentukan karakter calon pebisnis, maupun karyawan,” kata Rudy.